Langsung ke konten utama

Dawet Jembut Kecabut, Si Hitam Manis yang Menyegarkan dari Purworejo

Teman cerita pasti tidak asing ya dengan kata “jembut”? Jembut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rambut kemaluan. Lalu apa hubungannya dawet dan rambut kemaluan? Eitss jangan berpikiran ngeres dulu nih. Nama kuliner satu ini memang terdengar jorok dan aneh, tapi jangan salah sangka ya, ini hanya singkatan kok teman. 


Dawet jembut adalah salah satu kuliner khas dari Purworejo. Rasanya tidak perlu diragukan, manis dan sangat menyegarkan ketika diminum saat siang hari di kala cuaca terik. 

Kuliner tersebut dinamai “Dawet Jembut Kecabut” karena sering dijajakan di tepi jalan Purworejo, Kecamatan Butuh, tepatnya di sebelah Jembatan Butuh. Sehingga nama jembut diambil dari singkatan “Jembatan Butuh” dan Kecabut itu “Kecamatan Butuh” ya teman cerita. Sekarang udah gak salah paham lagi kan? 





Teman cerita harus tahu nih, dikutip dari food.detik.com
Dawet hitam khas Purworejo tersebut pertama kali dirintis oleh Mbah Ahmad Dansri pada sekitar tahun 1950 an. Dirintis oleh mbah Ahmad yang membuat minuman unik tersebut hanya untuk dikonsumsi para petani ketika musim panen. Ia berkeliling dari sawah ke sawah untuk menjajakan minuman buatannya itu. Setelah mbah Ahmad meninggal, minuman tersebut kemudian dilestarikan oleh anaknya yakni Nawon hingga akhirnya sampai dengan generasi ke tiga yakni Wagiman.
Warna hitam pada dawet diambil dari pewarna alami yaitu jerami padi yang dibakar lalu abunya dihaluskan dan disaring. 

Penyajian dawet ireng “jembut kecabut” menggunakan perasan santan dari parutan kelapa. Sajian cendol ireng (hitam) ini juga porsinya cukup banyak lho, kemudian ditambah santan dan gula aren, serta es, menyegarkan tenggorokan bukan? Segernya itu bikin nagih! 

Dengan harga yang sangat terjangkau, Bapak penjual yang ramah dan keunikannya yang legendaris, membuat kuliner satu ini cukup populer. Teman cerita, jangan lupa mampir ya jika main-main ke Purworejo. Mari kita lestarikan kuliner Indonesia. 

Jadi kapan nih teman cerita mau berkunjung ke Purworejo untuk menikmati kuliner si hitam manis, es dawet jembut ini?

Komentar

  1. Jadi ingin kesana mencoba kuliner indonesia si cendol hitam manis, segerr part 1

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Lebih Dekat Urang Kanekes, Baduy Dalam dan Hidup Berdampingan Dengan Alam

Apa yang teman cerita pikirkan tentang Baduy? Suku pedalaman yang tertinggal dan jauh dari kata modern? Siapa sih sebenarnya suku Baduy itu? Apa benar kehidupan orang Baduy penuh dengan Mistis? Nah, kali ini aku ingin berbagi cerita tentang pengalaman menarik ketika berkunjung ke Perkampungan Baduy. Perkampungan yang jauh dari keramaian kota. Menghabiskan akhir pekan di Baduy Dalam? Kenapa Nggak 😉 Oke, be quiet! Life is simple, but not easy.  Mari belajar kesederhanaan dan ketangguhan hidup orang Baduy. Don't slack off! Mari bergerak dan ikut berpetualang bersamaku 🚶‍♀️🚶‍♀️🚶‍♀️🚶‍♀️ Hal pertama yang menarik adalah mereka sendiri ternyata tidak pernah menyebut dirinya suku Baduy, melainkan urang Kanekes (orang Kanekes). Aku baru tau hal ini ketika Ayah Darma menjelaskan.  Ada dua golongan yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Apa perbedaannya?  Untuk perbedaan yang mudah diketahui adalah orang Baduy Luar sudah bisa menerima budaya dari luar, menggunakan handphone, mandi dengan sab

Mengenal Lebih Dekat Kehidupan Masyarakat di Kampung Adat Tasikmalaya

Apa yang dipikirkan ketika mendengar nama Kampung Naga? Kampung yang dihuni oleh naga-naga terbang seperti di televisi? 🐉🐲 Wohooo yang ini lebih menarik dari sekedar Naga sungguhan. Kampung Naga adalah salah satu kampung adat tradisional yang berada di Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Desa tradisional sunda dengan gubug bambu beratap jerami, terletak di lembah dan dikelilingi sawah. Dengan berkunjung ke sini kita bisa belajar tradisi dan adat istiadat, serta menikmati keindahan arsitektur, serta alamnya.  Kehidupan di Kampung Naga Tasikmalaya masih sangat kental dengan budaya sunda dan tradisi nenek moyang zaman dulu. Kurang lebih sama seperti suku Baduy, di Kampung Naga ini juga menolak adanya listrik dan pengaruh modernisasi, kegiatan bekerja masyarakatnya seperti menumbuk di lesung itu tidak boleh diabadikan, juga sama-sama memiliki kepercayaan kuat terhadap alam.  Untuk masuk ke Kampung Naga kita harus menuruni anak tangga yang jumlahnya berapa lapis? Ratusan

Merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Menginap di Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Night at Museum - Menginap di Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Apa yang kamu temukan di sana? 👻👹 Apa yang pertama kamu pikirkan ketika ada kegiatan menginap di Museum? Teringat filmnya  Night at the Museum, tentang  seorang penjaga malam di Museum Sejarah yang menemukan bahwa koleksi museumnya hidup kembali setiap malam. 😱😱 Kira-kira mungkin terjadi ga ya di kehidupan nyata? Eitss penasaran ga? Jadi gini...  Semua berawal dari keinginan menyambut hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 78 dengan cara yang beda. Teman cerita perlu meyakini bahwa k emerdekaan itu adalah sebuah proses. Selama hampir 78 tahun ini kita ngapain aja? Kepikiran, ngapain aja ya kira-kira?   Banyak cara seru yang dapat dilakukan untuk menyemarakkan hari Ke merdekaan Indonesia, seperti mengikuti perlombaan, menonton film pahlawan, atau berkunjung ke tempat-tempat bersejarah, salah satunya pergi ke Museum.  Salah satu Museum yang menarik dikunjungi untuk napak tilas di HUT RI adalah Museum Perumusan Naskah Prokl